oleh Emha Ainun Nadjib
Al-Habib , seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan
senantiasa didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami sholat isya suatu
jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat. Berbeda
dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam, Al-Habib langsung
membalikan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para jamaah dan menyorotkan
matanya tajam-tajam.
“Salah seorang dari kalian keluarlah sejenak dari ruang
ini, ” katanya, “Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok.
Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah barang beberapa bungkus.”
Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan
kembali ke ruangan beberapa saat kemudian. “Makanlah kalian semua,” lanjut
Al-Habib, “Makanlah biji-biji kacang itu, yang diciptakan oleh Alloh dengan
kemuliaan , yang dijual oleh kemuliaan dan dibeli oleh kemuliaan.”
Para jamaah tak begitu memahami kata-kata
Al-habib,sehingga sambil menguliti dan memakan kacang, wajah mereka tampak
kosong.
“Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata
Al-Habib, “hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagaimana
mencari uang, bagaimana sifat proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa
dan kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah yang
tinggi derajatnya apabila diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh
kemuliaan.”
“Tetapi ya Habib,” seorang bertanya, “apa hubungan antara
kita beli kacang malam ini dengan kemuliaan?”
Al-habib menjawab, “Penjual kacang itu bekerja sampai
larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi.Ia menyusuri jalanan, menembus
gang-gang kota dan kampung-kampung. Di malam hari pada umumnya orang tidur,
tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa Alloh membagi rejeki bahkan kepada
seekor nyamuk pun. Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian yang sering
tak yakin akan kemurahan Alloh, sehingga cemas dan untuk menghilangkan
kecemasan hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia
melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang.”
Suasana menjadi hening. Para jamaah menundukkan kepala
dalam-dalam. Dan Al-Habib meneruskan, “Istri dan anak penjual kacang itu
menunggu di rumah, menunggu dua atau tiga ribu rupiah hasil kerja semalaman.
Mereka ikhlas dalam keadaan itu. Penjual kacang itu tidak mencuri atau
memperoleh uang secara jalan pintas lainnya. Kalau ia punya situasi mental
mencuri, tidaklah ia akan tahan berjam-jam berjualan.”
“Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?”
Al-Habib bertanya, “Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu, atau ia
lebih mulia dari kalian? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu dibanding
kalian, atau di mata Alloh ia lebih tinggi maqom-nya dari kalian? Kalau
demikian, kenapa dihati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa seorang
penjual kacang adalah orang rendah dan orang kecil?”
Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, “Mahamulia
Alloh yang menciptakan kacang, sangat mulia si penjual kacang itu dalam
pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasar makrifat
terhadap kemuliaan….”. Salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al
-Habib erat-erat.
***
Emha Ainun Nadjib
Seribu masjid Satu jumlahnya
Tahajjud cinta seorang hamba
Penerbit Mizan 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar